Cari Blog Ini

Senin, 30 Agustus 2010

CAMPAK

Campak merupakan penyakit yang sangat menular pada masa anak-anak, tetapi juga menyerang orang dewasa. Campak dikenal pula dengan nama Morbili atau Rubeola. Gejala-gejala Campak cukup menakutkan. Anak-anak yang kurang gizi mudah terserang komplikasi yang fatal. Infeksi oleh virus Rubeola, ditularkan melalui batuk, bersin dan tangan yang kotor oleh cairan hidung.

1.         ETIOLOGI
Campak disebabkan oleh Virus Morbili yang merupakan virus RNA golongan Paramyxovirus. Virus Morbili bersifat dermotropik dan bisa mati karena ultraungu serta pada suhu 37 oC dan juga mati oleh bahan kimia tertentu. Akan tetapi virus ini dapat bertahan hidup selama lima tahunan pada suhu -15oC sampai -70oC dan dapat bertahan hidup 5 bulan pada suhu 4oC.

2.         EPIDEMIOLOGI
Insidens Campak di Indonesia selama tahun 1992 – 1998 dari data rutin Rumah sakit dan Puskesmas untuk semua kelompok umur cenderung menurut dengan keleng - kapan laporan rata-rata Puskesmas kurang lebih 60% dan Rumah sakit 40%. Penurunan Insidens paling tajam terjadi pada kelompok umur Kejadian Luar Biasa (KLB). Dari beberapa hasil penyelidikan lapangan KLB Campak dilakukan oleh Subdit Surveilans dan Daerah selama tahun 1998 – 1999, terlihat kasus-kasus Campak yang belum mendapat imunisasi masih cukup tinggi, yaitu kurang lebih 40% – 100%. Dari sejumlah kasus-kasus yang belum mendapat imunisasi tersebut, pada umumnya (>70%) adalah Balita.
Dampak keberhasilan cakupan imunisasi Campak nasional yang tinggi dapat menekan insidens rate yang cukup tajam selama 5 tahun terakhir, namun di beberapa desa tertentu masih sering terjadi KLB Campak. Asumsi terjadinya KLB Campak di beberapa desa tersebut, disebabkan karena cakupan imunisasi yang rendah (90%) atau kemungkinan masih rendahnya vaksin effikasi di desa tersebut. Rendahnya vaksin effikasi ini dapat disebabkan beberapa hal, antara lain kurang baiknya pengelolaan, rantai dingin vaksin yang dibawa kelapangan, penyimpanan vaksin di Puskesmas cara pemberian imunisasi yang kurang baik dan sebagainya.

3.         GEJALA
Perjalanan penyakit Campak khas dengan masa ingkubasi 10-12 hari. Lama kelamaan stadium prodromal yang ringan akan bertambah parah. Gejala patognomonis Campak adalah ditemukannya tanda Koplik’s spot yaitu bentukan seperti butiran pasir pada mukosa pipi bagian dalam. Pada stadium erupsi, terjadi munculnya bercak kemerahan di kulit yang terjadi pada hari ke 14 atau 3-4 hari perjalanan penyakit. Penderita dapat mengalami pembesaran limfa. Gejala lain yang dapat muncul adalah keluhan pencernaan seperti mencret dan mual muntah. Gejala penyakit Campak tersebut sagat mirip dengan penyakit lain yang diakibatkan oleh Adenovirus dan Mycoplasma. Variasi bentuk penyakit Campak dapat berupa:
1.         Atypical Measles
            Keadaan ini terjadi karena respon imun anak belum sempurna. Sindroma klinik ini terjadi pada sementara orang yng telah mendapat imunisasi Campak. Gejala yang ada mirip dengan penyakit Campak pada umumnya. Antibodi terhadap virus Campak mempunyai arti diagnosis yang baik. Patogenesis terjadinya Atypical Measles adalah karena kegagalan formaline inactive Measless vaccine.

2.         Modified Measles
            Keadaan ini terjadi pada individu yang memiliki respon imun sebagian atau tidak sempurna. Gejala penyakit lebih ringan. Penyakit ini terjadi karena pemberian imunisasi pasif dan imunoglobulin setelah terpapar Campak. Pasif imuniti dapat terjadi karena antibodi Campak dari ibu masuk ke dalam darah janin melaui plasenta.
3.         Haemorhagic Measles (Black Measles)
            Keadaan ini jarang muncul tetapi dapat terjadi pada beberapa orang. Gejala yang terjadi yang dapat berupa panas mendadak tinggi, kejang, stupor, kadang koma. Gejala tersebut dapat diikuti distres nafas yang bisa berakibat fatal. Terjadi erupsi berdarah pada kulit yang sangat menakutkan keluarga penderita. Erupsi tersebut dapat terjadi pada kulit dan mukosa sehingga sangat berbahaya. Patogenesis keadaan ini berhubungan dengan adanya Diseminated Intravasculer Coagulation (DIC).

4.         DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis penyakit Campak dapat ditegakkan dengan beberapa hal berikut ini:
1.             Gejala klinik penyakit yang khas
a.        Demam tinggi, paling tinggi dicapai setelah 4 hari.
b.  Bintik putih pada bagian dalam pipi di sebelah depan gigi premolar.
c.        Mata merah, berair
d.        Tenggorokan sakit, pilek, batuk yang khas kering dan keras
e.        Pada beberapa anak terdapat muntah-muntah dan diare
f.   Bintik yang khas ini muncul di belakang telinga, menyebar ke muka kemudian ke seluruh badan.
2.             Isolasi virus.
3.             Ditemukannya Giant Epitelial Cell/ RES Giant Cell pada pemeriksaan mikroskopis sekret hidung, saliva dan hapusan mukosa pipi.
4.             Serologi didapatkan peningkatan titer antibodi netralisasi, HI dan CF.
Diagnosis banding penyakit ini adalah Rubella (Campak Jerman), Exantema Subitum, Infeksi Enterovirus, Scarlet Fever, dan Meningococcemia.

5.         KOMPLIKASI
a.              Perluasan keradangan karena virus.
b.              Infeksi lanjutan karena bakteri.
c.              Kombinasi kedua hal di atas.
d.              Dalam jangka pendek dapat terjadi otitis media sampai rusaknya hair sel telinga, Pneumonia (infeksi paru-paru) virus yang mulai tampak saat gejala prodromal sampai viremia, Laringitis serta laringotrakeitis, Bronkhitis (infeksi saluran pernafasan bagian bawah), Encepalitis (radang otak).
e.              Dalam jangka panjang dapat terjadi degenerasi sel saraf, anoreksia dan gangguan elektrolit serta gangguan nutrisi, aktivasi TBC bila sebelumnya sudah terkena TBC.

6.         PENATALAKSANAAN
a.              Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri atau self limited diseases.
b.              Antibiotika dan antimikroba tidak dapat membunuh virus Campak tetapi dapat berguna untuk mengobati infeksi bakterial sekunder oleh karena bakteri.
c.              Tugas pokok pengobatan adalah mencegah terjadinya komplikasi yang terjadi.
d.              Terapi suportif sangat penting yang meliputi diet cukup cairan elektrolit dan protein serta kalori. Pengobatan suportif juga ditujukan untuk mencegah terjadinya komplikasi infeksi bakteri maupun virus lain.

7.        
PENANGGULANGAN CAMPAK
Program Pencegahan dan pemberantasan Campak di Indonesia pada saat ini berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan KLB. Hasil pemeriksaan sample darah dan urine penderita Campak pada saat KLB menunjukkan Igm positip sekitar 70% – 100%. Insidens rate semua kelompok umur dari laporan rutin Puskesmas dan Rumah Sakit selama tahun 1992 – 1998 cenderung menurun, terutama terjadi penurunan yang tajam pada kelompok umur = 90%) dan merata disetiap desa masih merupakan strategi ampuh saat ini untuk mencapai reduksi Campak di Indonesia pada tahun 2000. CFR Campak dari Rumah Sakit maupun dari hasil penyelidikan KLB selama tahun 1997 – 1999 cenderung meningkat, kemungkinan hal ini terjadi berkaitan dengan dampak kiris pangan dan gizi, namun masih perlu dikaji secara mendalam dan komprehensive.
Sidang WHA tahun 1988, menetapkan kesepakatan global untuk membasmi polio atau Eradikasi Polio (Rapo), Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM) pada tahun 2000. Beberapa negara seperti Amerika, Australia dan beberapa negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi Campak. Pada sidang CDC/PAHO/WHO tahun 1996 menyimpulkan bahwa Campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir Campak hanya pada manusia dan adanya vaksin dengan potensi yang cukup tinggi dengan effikasi vaksin 85%. Diperkirakan eradikasi akan dapat dicapai 10 – 15 tahun setelah eliminasi.
Program imunisasi Campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982 dan masuk dalam pengembangan program imunisasi. Pada tahun 1991, Indonesia dinyatakan telah mencapai UCI secara nasional. Dengan keberhasilan Indonesia mencapai UCI tersebut memberikan dampak positif terhadap kecenderungan penurunan insidens Campak, khususnya pada Balita dari 20.08/10.000 – 3,4/10.000 selama tahun 1992 – 1997. Walaupun imunisasi Campak telah mencapai UCI namun dibeberapa daerah masih terjadi KLB Campak, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi rendah atau daerah kantong. Pemberantasan Campak meliputi beberapa tahapan, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbeda-beda.
a.         Tahap Reduksi.
Tahap reduksi Campak dibagi dalam 2 tahap. Tahap pengendalian Campak. Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi >80%, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4 – 8 tahun. Tahap pencegahan KLB. Pada tahun ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval terjadinya KLB relative lebih panjang. Reduksi Campak bertujuan menurunkan angka insidens Campak sebesar 90% dan angka kematian Campak sebesar 95% dari angka sebelum program imunisasi Campak dilaksanakan. Di Indonesia, tahap reduksi Campak diperkirakan dengan insiden menjadi 50/10.000 balita, dan kematian 2/10.000 (berdasarkan SKRT tahun 1982). Imunisasi Rutin 2 kali, pada bayi 9-11 bulan dan anak Sekolah Dasar Kelas I (belum dilaksanakan secara nasional) dan Imunisasi Tambahan atau Suplemen.
b.         Tahap Eliminasi
Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95%), dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus Campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (susceptible) harus diselidiki dan mendapat imunisasi tambahan.
c.         Tahap Eradikasi
Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus Campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi. Pada TCG Meeting, Dakka, 1999, menetapkan Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan terjadinya KLB.




BCG VACCINE CANDIDATE FOR PATIENTS WITH HIV (+)


Andi Cahyadi, dr.
Tuberculosis (TB) has become a major public health problem in the world and Indonesia with incidents increasing from year to year. BCG vaccine is a solution that is right for the prevention of TB disease in normal individuals, but not for people with HIV (+). BCG (Bacillus Calmete-Guerin) is a live attenuated vaccine of Mycobacterium bovis that has been weakened and either given to the child (infant). (Aditama, 2000; Simon 2002) BCG can be dangerous if given to the state of immunodeficiency such as in HIV infection / AIDS. BCG vaccine can trigger the occurrence of TB in people with HIV (+). To date, BCG vaccine candidates that can be given to persons with HIV (+) has not been obtained.
HIV/AIDS epidemic is associated with the TB epidemic. (WHO, 2007) pulmonary tuberculosis is the commonest opportunistic infection in people with HIV/AIDS. (Ravligone et al., 1995) WHO noted in 2005, there were 8.8 million new TB cases and 1.6 million deaths per year of which 195 thousand of them are infected HIV. Approximately 72% of the world's TB sufferers are in Asia and more than 1.3 million Asians are infected with HIV and TB is estimated simultaneously. (Ravligone et al., 1995) TB can worsen quality of life and hasten death in people with HIV (+). HIV/AIDS to facilitate the spread of primary TB infection and infection with Mycobacterium tuberculosis will speed up the trip early stages of HIV infection becomes advanced stage (AIDS) are fatal. (Antonucci, 1995; Moreno et al., 1993)
Coinfection with HIV and TB is a bad prognose of two-way interactions (pathogenic bidipzectional Interactions). WHO estimates that in 2000 will be an increase in global HIV-TB from 9% to 24% that launched a global emergency for TB disease in 1993. (WHO, 2006) TB in Indonesia in 1995 was 460,190 people, and in August 1999 there is addition of new cases for 583,000 people with the deaths of around 140,000. (Aditama, 2000) The amount is increased by the estimated number of people living with HIV / AIDS (PLWHA) in Indonesia in 2001-2002, amounting to 80,000 to 120,000 people.
The failure of BCG in preventing TB in people with HIV (+) has motivated scientists to develop a safe and effective vaccine is given in ppenderita HIV (+). Immunosuppression due to HIV infection may alter the response of vaccines and increase the risk of infection with Mycobacterium. (CDC, 1996) BCG (Bacillus Calmette-Guerin) is a weakened Mycobacterium that can still develop into TB in the state of immunodeficiency. Mycobacterium tuberculosis is a potential inducer of cellular immune response, characterized by levels of IFN-γ and TNF-α is high. Clinical impact of type 1 immune response is the increase in cases of TB in the HIV epidemic, especially in patients with low CD4 +. Protective effect of BCG varies between 0 - 80%. (Rodrigues and Smith, 1990) People with HIV (+) and HIV (-) have different responses to BCG. BCG vaccine has no efficacy in preventing extrapumonal TB in HIV patients. Specific cellular immune responses necessary to control the spread of the tubercle bacillus but a decrease of CD4+ lymphocytes and the production of T suppressor lymphocytes generated by HIV infection weakens the immune response. Issues need to be considered in the use of BCG in HIV pendrita.
HIV infects and destroys CD4+ T Lymphocytes. CD4+ T lymphocytes have an essential role in the coordination of cellular immune response against Mycobacterium tuberculosis. Interferon Gama as the result of activation of CD4+ and CD8+ will activate the macrophages and eventually control the replication of Mycobacterium tuberculosis. The function and the number of CD4+ decline in people with HIV so that cellular immune response against TB to be inadequate.
BCG (Bacille Calmete-Guerin) is a live attenuated vaccine given as the prevention of tuberculosis. BCG can trigger the occurrence of tuberculosis in HIV patients with BCG vaccine so that needed a new, more secure and productive. Re-formulated BCG needs to get a vaccine that is safe and protective and can be given to HIV patients. Scientific reasoning of a clinician is required to select the type of BCG vaccine is safe and protective for use. Selection of BCG modifications based on:
1.                   Protective effect against TB in HIV patients,
2.                  Security immunological mechanisms of vaccine against HIV patients who have immunodeficiency.
3.                  Immunological status of the past such as BCG immunization status of children, scar TB and TB disease in the past.
4.                   Current nutritional status,
5.                   Timing of which is on high-risk groups or who have no risk,
6.                   BCG repeat (booster) to increase the immunological status,
7.                  Immunological status at this time is the number of CD4 + cells associated with the success of BCG.
The above factors must be considered by clinicians in order to obtain results in accordance with the desired. Basis is also required to supply prefers the existing BCG vaccine.
From Mycobacterium bovis BCG developed a level of homology (similarity genome) more than 90% with Mycobacteium tuberculosis. A number of loci in BCG vaccine strains have undergone deletions are thought to be the cause of the failure of BCG over the years. Loci identified RD1-RD16 missing is a role in determining the virulence of bacteria. Locus was lost during the breeding process repeatedly to get the vaccine strain is not virulent. Mycobacterium bovis was first isolated in 1908 at the Institut Pasteur, Paris; carried 230 times pasasi to get the vaccine strain that later became the parent BCG. Mutation is also thought to be the cause of differences in the effectiveness of BCG in different countries.
Recombinant BCG vaccine that has entered clinical trials (phase I) was developed by a team from UCLA, the United States that is named rBCG30. The vaccine is designed to express the major proteins that excreted by Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis genes missing in BCG vaccine strains encoded back eg Ag85B protein-coding genes which are dominant antigens. Other genes such as ESAT-6, on the RD1 locus are responsible for the cellular immune response.
Another technique is to inhibit genes that play a role in the attenuation of BCG but are at risk because the vaccine can be highly virulent again. Another approach through DNA vaccines have many advantages that it is easily manipulated and can be designed or constructed with immunomodulatory molecules that are immunogenic strong cellular and humoral immune responses. A plasmid DNA vaccine encoding specific proteins or antigens is responsible for inducing protective immunity.
An alternative approach which also developed the vaccine sub-units are more compact than the BCG. Subunit vaccines are not using intact bacteria, such as BCG, but certain components of Mycobacterium tuberculosis, such as fat and carbohydrate constituent membranes or proteins as antigenic determinants. Subunit vaccine candidates under investigation are from the fusion protein Ag85B and ESAT-6 which proved to induce a degree of protection higher than conventional BCG.
A suitable vaccine candidate for HIV sufferers are DNA vaccines, namely MVA85A considered safer than a live attenuated vaccine (BCG). Currently MVA85A vaccine is still in development phase IIb clinical trial. However, from the test results, already obtained preliminary data showing a very good success rate in tests in adults (18-55 years) with positive tuberculin test results and negative and in patients with HIV. One week after vaccination, nearly 50% of antigen-specific T cells are positive for all four test methods during the study: IFN-γ, IL2, TNF-α and MIP-1b. And this response is maintained even six months after vaccination MVA85A. The vaccine is suitable for use in people with HIV, because it is not a vaccine of live attenuated bacilli, which means indicate the level of security is better than the existing BCG.
MVA85A DNA vaccine showed better results compared with a live attenuated vaccine. Therefore, it is necessary socialized that the existing BCG vaccine in Indonesia today is to show the level of vulnerability of the immune system is worse for people with HIV who are undergoing antiretroviral treatment. To establish the defense a better immune system for people with HIV to tuberculosis, DNA vaccines are a proven alternative to good and appropriate to prevent co-infection with HIV and TB and given to those with HIV in the infant.
Vaccines should also work to individuals who have co-infected with HIV. Individuals with HIV / AIDS has a number of T lymphocytes (mainly CD4 +) low. Immune cell types is precisely an important role in the body's defense against TB. In coming years, cases of TB / HIV coinfection certainly continue to rise given the vaccine to prevent HIV / AIDS also has not been successfully developed.
Thus, MVA85A DNA vaccine can be selected by the physician to be given to people with HIV. Giving the vaccine should still consider the patient's condition that is associated with a different immune response from the decrease in CD4 + cells. A wise physician always considers advantages and disadvantages of the BCG vaccine when given to people with HIV-positive.
BCG vaccine (live attenuated vaccine) that there can not be given to people with HIV because it can trigger the emergence of TB or reactivation of latent TB. Need to be re-formulated BCG vaccine for HIV patients can be given to them are suitable are recombinant BCG vaccine and protein fraction. MVA85A DNA vaccine is the main option BCG vaccine candidates that can be given to people with HIV. MVA85A DNA vaccine is still in the research stage so that the clinician should consider the advantages and disadvantages when given to people with HIV. Other BCG vaccine candidates still need to be tested in order to have results that have high efficacy in patients with HIV.

REFERENCES
Aditama TY. 2000. Sepuluh Masalah Tuberkulosis dan Penanggulangannya. J Respirologi Kedokt. 20 (9): 8-12.
Antonucci G, Giradi E, Raviglione MC et al., 1995. Risk Factor for Tuberculosis in HIV Infected Person: a Prospective Cokert Syudy. JAMA. 274: 143-148.
Bhat GJ, Diwan VK, Chintu C, et al. 1993. HIV, BCG and TB in children: a case control study in Lusaka, Zambia. J Trop Pediatr 1993;39:219–23.
Center for Disesase Control and Prevention. 1993. Estimated of Future Global Tuberculosis Morbidity and Mortality. MAWR; 42: 961-964.
Center for Disesase Control and Prevention. 1996. UpDate: Provesional public health service recommendation for chemoprophilaxis after occupational exposure to HIV. JAMA; 276: 90-92.
Centers for Disease Control and Prevention. 1986. Tuberculosis-United States 1985- and possible impact of human T-lymphotropic virus type III/lymphadenopathy-associated virus infection. JAMA; 255:1010-13.
Centers for Disease Control and Prevention. 1996. The role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the United States. A joint statement by the Advisory Council for the Elimination of Tuberculosis and the Advisory Committee on Immunization Practices. MMWR; 45(RR-4):1–18.
Comstock GW. 1988. Identification of an effective vaccine against tuberculosis. Am Rev Respir Dis;138:479–80.
Raviglione, MC., DE. Snider Jr, and A. Kochi. 1995. Global Epidemiology of Tuberculosis Morbidity and Mortality of a Worldwide Epidemic. JAMA;273(3):220-6
Rodrigues LC, Diwan VK, Wheeler JG. 1993. Protective effect of BCG against tuberculous meningitis and miliary tuberculosis: a meta-analysis. Int J Epidemiol;22:1154–58.
Rodrigues LC, Smith PG. 1990. Tuberculosis in developing countries and methods for its control. Trans R Soc Trop Med Hyg;84:739–44.
Simon, Harvey E., 2002. Infections due to Mycobacteria, in Infectious Disease: The Clinician’s Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention, WebMD Prof. Publishing.
World Health Organization (WHO) report 2007: Global tuberculosis control.      
World Health Organization (WHO). 1999. What is DOTS?A Guide to understanding the WHO-recommended TB control strategy known as DOTS. WHO/CDS/CPC/TB/99.270. Geneva, Switzerland
World Health Organization (WHO). 2002. An expanded DOTS framework for effective TB control. World Health Organization, Geneva (WHO/CDS/TB/2002.297).
World Health Organization (WHO). 2003. Treatment of Tuberculosis, Guideline for National Programmes. WHO/CDS/TB/2003.313. Geneva
World Health Organization (WHO). 2006. AIDS epidemic update: Special report on HIV/AIDS: UNAIDS and WHO: December 2006.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Antara Kepuasan Pasien dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit di Indonesia

ANTARA KEPUASAN PASIEN DAN KUALITAS PELAYANAN
RUMAH SAKIT DI INDONESIA
dr. Andi Cahyadi
Dokter Puskesmas Babana, Budong-Budong, Mamuju, Sulbar

Perdagangan bebas dan globalisasi telah mendorong persaingan yang semakin ketat dalam dunia bisnis termasuk rumah sakit sebagai penghasil jasa kesehatan. Persaingan memunculkan banyak rumah sakit baru serta banyaknya rumah sakit asing (luar negeri) yang melakukan ekspansi ke Indonesia. Perbedaan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit di Indonesia menjadikan banyak pasien terutama yang berduit, berbondong-bondong ke luar negeri misalnya ke rumah sakit di Singapura, Cina dan Malaysia.
Perkembangan dalam kualitas layanan dan tingginya tuntutan pasien terhadap kualitas layanan (service quality) rumah sakit, menuntut banyak manajemen rumah sakit baik negeri, swasta maupun asing untuk mengubah organisasi, produk dan pelayanan. Perbaikan service quality akan menghasilkan peningkatan kepuasan pasien (patient satisfaction) dan pada akhirnya meningkatkan keuntungan rumah sakit sebagai badan usaha. Diantaranya dengan melakukan promosi besar-besaran.

Seberapa parahkah kualitas pelayanan rumah sakit di Indonesia hingga banyak ditinggalkan oleh masyarakat termasuk tokoh negara, tokoh politik, ekspatriat dan yang baru-baru ini salah satu tokoh pers Indonesia yang melakukan transplantasi liver di Negeri Tirai Bambu, Cina. Dengan tidak bermaksud menghakimi keterpurukan kualitas layanan rumah sakit di Indonesia, akan dibahas sedikit mengena hal kualitas layanan rumah sakit dan kepuasan pasien.

Kepuasan Pasien (Patient Satisfaction)
Kepuasan mempunyai ruang yang luas dan tidak mudah untuk dibatasi. Aspek kepuasan pasien merupakan fenomena yang khas dan rumit. Dapat selaras dan juga tidak selaras dengan kode etik profesi dan standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Fenomena ini tidak dapat diabaikan oleh penyelenggara dan petugas pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Penilaian terhadap mutu rumah sakit bersumber dari pengalaman pasien. Pengalaman dapat diartikan sebagai suatu perlakuan atau tindakan rumah sakit yang sedang atau pernah dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh seseorang yang membutuhkan pelayanan kesehatan rumah sakit. Kegiatan dan prasarana pelayanan kesehatan yang mencerminkan kualitas rumah sakit juga menjadi determinan utama dari kepuasan pasien.

Kepuasan pasien (patient satisfaction) dikaitkan dengan harapan atau ekspektasi dan fakta yang didapat setelah menggunakan jasa layanan kesehatan yang diberikan rumah sakit.
Besarnya pengaruh krakteristik pasien dapat menyebabkan berbagai konsep kualitas pelayanan belum tentu dapat dimanfaatkan sepenuhnya sebagai masukan bagi manajemen untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit. Penelusuran prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dan rumusan tingkat kepuasan pasien berdasarkan indikator yang ditemukan sangat penting dilakukan pada berbagai rumah sakit di Indonesia.

Kepuasan pasien merupakan hasil penilaian berdasarkan perasaan, terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pengalaman tersebut dinyatakan sebagai cara pasien mengevaluasi sampai seberapa besar tingkat kualitas pelayanan di rumah sakit, sehingga dapat menimbulkan tingkat rasa kepuasan.
Berpedoman pada skala pengukuran yang dikembangkan Likert (dikenal dengan istilah skala Likert), kepuasan pasien dapat dikategorikan dan dikuantifikasi menjadi tiga tingkat yaitu:
1. Sangat puas, menggambarkan pelayanan kesehatan sepenuhnya atau sebagian besar sesuai kebutuhan atau keinginan pasien. Misalnya sangat bersih (untuk prasarana), sangat ramah (untuk hubungan dengan dokter atau perawat), atau sangat cepat (untuk proses administrasi); yang seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas yang paling tinggi.
2. Agak puas, menggambarkan pelayanan kesehatan yang tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai kebutuhan atau keinginan. Seperti tidak terlalu bersih (untuk sarana), agak kurang cepat (proses administrasi), atau agak kurang ramah, yang seluruhnya hal ini menggambarkan tingkat kualitas yang kategori sedang.
3. T idak puas, hasil penilaian perasaan pasien yang rendah, yang menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan. Misalnya tidak terlalu bersih (untuk sarana), agak lambat (untuk proses administasi), atau tidak ramah, yang seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas kategori paling rendah.

Konsep Mutu Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit
Rumah sakit adalah rumah tempat merawat orang sakit, atau tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI, No.159 b/Men.Kes/PER/II/1988 menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.

Fungsi rumah sakit meliputi aspek: (a) penyedia dan penyelenggara pelayanan medik, penunjang medik, perawatan rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan kesehatan, (b) tempat pendidikan dan atau latihan tenaga medik dan paramedik, dan (c) tempat penelitian dan pengembangan ilmu teknologi bidang kesehatan.
Pelayanan rumah sakit dapat berupa produk, jasa, atau campuran produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan pasien. Model yang komprehensif dengan fokus utama pada pelayanan produk dan jasa kesehatan harus meliputi lima dimensi penilaian yaitu responsiveness (ketanggapan), reliability (kehandalan) emnghadapi problem kesehatan, assurance (jaminan mutu) pelayanan, emphaty (empati), tangibles (bukti langsung), yaitu sarana dan fasilitas fisik yang dapat langsung dirasakan oleh pasien. Hal-hal tersebut yang seringkali dilupakan manajemen agar tetap menjaga mutu atau kualitas layanannya.

Konsep mutu dalam pelayanan kesehatan telah tumbuh dan berkembang sejak dekade 80-an. Cara peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit terus dikembangkan, salah satunya melalui quality assurance. Dengan kemajuan teknologi khususnya di bidang informasi maka mutu saja tidak cukup, namun tuntutan juga terhadap percepatan kinerja (velocity in performance), yang berkembang sejak dekade 90-an dan menjadi salah satu faktor untuk memenangkan persaingan.

Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit telah menjadi masalah mendasar yang dihadapi sebagian besar rumah sakit di berbagai negara. Oleh karena itu berbagai upaya peningkatan pelayanan harus terus dikembangkan oleh manajemen rumah sakit di Indonesia.

Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai tingkat kepuasan rata-rata penduduk. Penyelenggaraannya juga harus sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Pasien cenderung memilih atau menetapkan prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan, sebagai dasar untuk memutuskan tingkat kepuasanya.
Berpedoman pada konsep akreditasi rumah sakit, indikator kepuasan pasien mencerminkan mutu pelayanan rumah sakit yang meliputi aspek administrasi, pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan, rekam medis, kamar operasi, pelayanan perinatal resiko tinggi, pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium, pengendalian infeksi di rumah sakit, pelayanan sterilisasi, keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana.
Prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan merupakan aspek utama yang menjadi petunjuk atau pedoman ukuran yang penting, berbobot, atau berkaitan dengan penyelenggaraan layanan kesehatan rumah sakit yang menjadi bagian dari pengalaman atau yang dirasakan pasien. Indikator pelayanan kesehatan yang dapat menjadi prioritas relatif sangat banyak, diantaranya adalah:
1. Kinerja tenaga dokter, adalah perilaku atau penampilan dokter dalam memberi pelayanan kesehatan pada pasien, yang meliputi ukuran layanan medis non medis, tingkat kunjungan, sikap, dan penyampaian informasi.
2. Kinerja tenaga paramedis atau perawat, adalah perilaku atau penampilan tenaga perawat dalam pemberian pelayanan kesehatan pada pasien, yang meliputi ukuran layanan medis, layanan non medis, sikap, penyampaian informsai, dan tingkat kunjungan.
3. Kondisi fisik, adalah keadaan sarana rumah sakit dalam bentuk fisik seperti kamar rawat inap, jendela, pengaturan suhu, tempat tidur, kasur dan sprei.
4. Makanan dan menu, adalah kualitas jenis atau bahan yang dikonsumsi pasien setiap harinya, seperti nasi, sayuran, ikan, daging, buah, dan minuman.
5. Sistem administrasi pelayanan, adalah proses pengaturan atau pengelolaan pasien di rumah sakit yang harus diikuti oleh pasien (rujukan dan biasa), mulai dari pendaftaran sampai fase rawat inap.
6. Pembiayaan, adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan atas pelayanan yang diterima oleh pasien, seperti biaya dokter, obat, makan, dan kamar.
7. Rekam medis, adalah catatan atau dokumentasi mengenai perkembangan kondisi kesehatan pasien yang meliputi anamnesis, diagnosis perjalanan penyakit, pengobatan, tindakan medis dan hasil pelayanan.
Apabila semua elemen di atas diperhatikan, maka akan tercapailah kepuasan pasien dan pada gilirannya kesetiaan nasabah makin tinggi serta tidak mudah dibujuk untuk lari ke rumah sakit lain, bahkan akan merekomendasi temannya untuk menggunakan rumah sakit tersebut, juga tidak tertarik dengan produk rumah sakit lain terlebih rumah sakit luar negeri.

Akhir-akhir ini, rumah sakit telah berkembang kearah suatu industri, tidak hanya sebagai provider kesehatan saja tetapi sekaligus socio economic unit menuju revenue centre bahkan sebagai profil centre. Rumah sakit berlomba-lomba mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin yang di satu sisi juga mengorbankan kepentingan dan kepuasan pasien.

Harus disadari bahwa industri rumah sakit adalah industri yang padat karya, padat teknologi dan padat modal. Oleh karena itu dalam menghadapi era globalisasi, dimana kompetisi semakin keras, tentunya dunia perumahsakitan harus berbenah diri, mengambil langkah antisipasi karena yang akan ikut bermain pendatang baru adalah mereka yang sudah world class.

Bayi mati di lumbung padi

BAYI MATI DI LUMBUNG PADI
dr. Andi Cahyadi
Dokter Puskesmas Babana, Budong-Budong, Mamuju, Sulbar

“Orang bilang tanah kita tanah surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Hasil bumi dan pertanian melimpah, demikian juga tambang dan hutan. Indonesia adalah negara yang subur yang menjadikan masyarakat tidak akan pernah kekurangan makanan. Indonesia bagaikan lumbung padi yang tak pernah habis. Tetapi, apakah kini itu semua benar? Kenapa masih ada bayi dan anak-anak yang mati akibat kelaparan dan kurang gizi. Ini sangat ironis dan diibaratkan seperti bayi mati di lumbung padi.
Meledaknya kasus gizi buruk di berbagai seperti Yahukimo, NTT, NTB, Lampung dan propinsi lain menunjukkan bahwa masalah gangguan gizi di Indonesia masih rawan. Secara nasional, pada tahun 2003 terdapat 27.5% balita menderita gizi kurang, namun demikian terdapat 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas 30%, yang menurut WHO dikelompokkan sangat tinggi.

Masalah Gizi di Indonesia
Keadaan gizi dapat dipengaruhi oleh keadaan fisiologis, dan juga oleh keadaan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pada saat ini, selain dampak dari krisis ekonomi yang masih terasa, juga dampak dari bencana nasional mempengaruhi status kesehatan pada umumnya dan status gizi khususnya.
Kurang gizi dapat terjadi dari beberapa akibat, yaitu ketidakseimbangan asupan zat-zat gizi, faktor penyakit pencernaan, penyakit infeksi dan pola hidup atau diet makanan dan juga kurangnya kesadaran masyarakat terutama ibu akan pentingnya zat gizi bagi anak.
Meskipun prevalensi kurang energi protein, yang kemudian disebut masalah gizi makro, pada balita turun dari 37.5 % pada tahun 1989 menjadi 26.4 % pada tahun 1999, tetapi bila ditinjau dari jumlah penderita justru semakin naik. Keadaan ini juga diikuti dengan prevalensi masalah gizi lain seperti gangguan akibat kurang Yodium (Gondok), kurang vitamin A dan kurang Zat Besi (Fe) pada anak maupun ibu hamil yang disebabkan oleh berbagai hal.
Masalah gizi makro adalah gangguan gizi yang disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu sasaran dari program perbaikan gizi makro seharusnya berdasarkan siklus kehidupan yaitu dimulai dari wanita usia subur, dewasa, ibu hamil, bayi baru lahir, balita, dan anak sekolah.
Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) adalah salah satu hasil dari ibu hamil yang menderita kurang energi kronis dan akan mempunyai status gizi buruk. Prevalensi BBLR pada saat ini diperkirakan 7-14 % (yaitu sekitar 459.200-900.000 bayi). BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan (IQ).
Setiap anak yang berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10–13 poin. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih1,3 juta anak bergizi buruk, maka berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin.
Gizi Kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada balita di Indonesia. Berdasarkan hasil susenas data gizi kurang tahun 1999 adalah 26.4 %, sementara itu data gizi buruk tahun 1995 yaitu 11.4 %. Sedangkan untuk tahun 2000 prevalensi gizi kurang 24.9 % dan gizi buruk 7.1%. Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor.
Kurang Energi Kronis (KEK) dapat terjadi pada Wanita Usia Subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil). KEK adalah keadaan dimana ibu menderita keadaan kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu. Dari data Susenas pada tahun 1999 menunjukkan bahwa status gizi pada WUS yang menderita KEK (LILA < 23.5 cm) sebanyak 24.2 %. Hasil analisis IMT pada 27 ibukota propinsi menunjukkan KEK pada wanita dewasa (IMT< 18.5) sebesar 15.1 %.
Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kematian ibu mendadak pada masa perinatal atau risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada keadaan ini banyak ibu yang meninggal karena perdarahan, sehingga akan meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Data Susenas pada tahun 1999, ibu hamil yang mengalami risiko KEK adalah 27.6 %.

Sebab dan Akibat Masalah Gizi di Indonesia
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung, gizi buruk dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai dan anak mungkin menderita penyakit infeksi.
Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, artinya bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi, dalam hal ini makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.
Pola pengasuhan anak juga berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak.
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
Kemiskinan juga merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin kecil persentasinya. Kurang Gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas.



Masalah gizi juga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Pencapaian pembangunan manusia diukur dengan Indek Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indeks komposit yang terdiri dari umur harapan hidup, tingkat melek huruf dan pendapatan perkapita. Pada tahun 2003, IPM Indonesia sangat rendah, berada di peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dibanding negara tetangga.
Di samping dampak langsung terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80 % terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30%.
Ada tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu : 1) Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai, baik jumlah maupun mutu gizinya. 2) Pola pengasuhan anak kurang memadai, baik fisik, mental dan sosial. 3) Pelayanan kesehatan dan lingkungan, meliputi penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau kurang memadai. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Penanggulangan Masalah Gizi Buruk di Indonesia
Pemerintah dapat melaksanakan berbagai upaya untuk menurunkan penderita gizi kurang yaitu antara lain dengan cara menjamin setiap ibu menyusui ASI eksklusif, menjamin setiap ibu memperoleh pendampingan dan dukungan program gizi. Upaya perbaikan gizi tidak hanya melibatkan soal teknis kesehatan akan tetapi menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi dan kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan upaya terintegrasi lintas program maupun lintas sektor terkait baik di tingkat pusat maupun tingkat propinsi dan kabupaten.
Tujuan Khusus penanganan masalah gizi makro adalah: 1) Meningkatkan keadaan gizi keluarga dengan mewujudkan perilaku keluarga yang sadar gizi, 2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemerataan kegiatan pelayanan gizi ke seluruh wilayah perdesaan dan perkotaan, 3) Meningkatkan kualitas pelayanan gizi, baik di puskesmas maupun di posyandu, untuk menurunkan prevalensi masalah gizi kurang dan gizi lebih, 4) Meningkatkan konsumsi energi dan protein pada balita yang gizi buruk yang benar-benar membutuhkan.
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, akan ditempuh strategi pokok sebagai acuan penanggulangan masalah gizi makro, sebagai berikut :
1. Pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan dan gizi
Pemberdayaan keluarga adalah proses keluarga yang mempunyai masalah kesehatan dan gizi bekerjasama menanggulangi masalah yang mereka hadapi. Cara terbaik untuk membantu mereka adalah ikut berpartisipasi dalam memecahkan masalah mereka. Kegiatan operasional yang dilaksanakan adalah pemetaan keluarga mandiri sadar gizi oleh dasawisma dalam rangka survey mawas diri masalah gizi keluarga serta asuhan dan konseling gizi. Pemberdayaan masyarakat di bidang gizi
Masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penanggulangan masalah gizi makro untuk peningkatan kemandirian masyarakat dalam memerangi kelaparan dan kepedulian terhadap masalah gizi yang muncul.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah: 1) Pemberdayaan ekonomi mikro yang dilaksanakan lintas sektor terutama dalam rangka income generating, 2)Advokasi untuk memperoleh dukungan baik teknis maupun non teknis dari pemerintah daerah setempat memobilisasi sumber daya masyarakat yang dimiliki, 3) Fasilitasi, yaitu memberikan bantuan teknis dan peralatan dalam rangka memperlancar kegiatan penanggulangan gizi makro berbasis masyarakat, misalnya home economic set untuk PMT.
2. Pemberdayaan Petugas
Agar kualitas pelayanan gizi meningkat, maka diharapkan para petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar. Peningkatan peran petugas diberikan antara lain dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan baik melalui kegiatan workshop dan capacity building.
2. Subsidi langsung
Subsidi diberikan dalam bentuk paket dana untuk pembelian makanan tambahan dan penyuluhan kepada balita gizi buruk dan ibu hamil kurang energi kronis

Koordinasi dan Peran Lintas Sektor
Masalah gizi buruk merupakan masalah yang kompleks karena penyebabnya multifaktor dan multidimensi. Penanganannya memerlukan pendekatan yang menyeluruh, meliputi penyembuhan dan pemulihan anak-anak yang sudah menjadi gizi buruk, dan pencegahan dan peningkatan untuk menjaga/mempertahankan anak yang sehat tetap sehat.
Urusan kesehatan adalah urusan lingkungan, sikap, dan perilaku masyarakat. Adalah hasil penelitian Hendrik L. Blum yang sudah sering diangkat dan disuarakan para pakar kesehatan yang mengungkapkan bahwa dari empat faktor kunci yang memengaruhi derajat kesehatan, maka aspek pelayanan ternyata hanya memiliki kontribusi sebesar 20 persen. Sementara sebagian besarnya, 80 persen, dipengaruhi oleh tiga faktor lainnya. Persisnya, 45 persen ditentukan oleh lingkungan, 30 persen ditentukan oleh perilaku, dan sisanya, 5 persen ditentukan oleh faktor genetik atau keturunan.
Mengingat besaran dan sebaran gizi buruk yang ada di semua wilayah Indonesia dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan penanggulangan gizi buruk merupakan program nasional, sehingga perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan antara pusat dan daerah. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan komprehensif, dengan mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan, yang didukung upaya pengobatan dan upaya pemulihan
Penanggulangan dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan akses untuk memperoleh informasi dan kesempatan untuk mengemukakan pendapat, serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat yang telah berdaya berperan sebagai pelaku/pelaksana, melakukan advokasi dan melakukan pemantauan untuk peningkatan pelayanan publik.
Berbagai masalah kesehatan masyarakat meningkat karena tidak berfungsinya Puskesmas secara optimal, terutama terbatasnya dukungan sumber daya. Salah satu akibatnya, meningkatnya gizi buruk pada Balita dapat dikatakan merupakan dampak dari berbagai masalah sosial ekonomi masyarakat. Penanggulangan masalah gizi buruk secara mendasar harus menyentuh akar permasalahan. Revitalisasi Puskesmas dan revitalisasi Posyandu harus merupakan upaya bersama, terutama perhatian oleh Pempa.
Revitalisasi Posyandu dipandang lebih efektif dalam menanggulangi masalah gizi buruk di Indonesia. Hal ini kembali pada alasan bahwa Posyandu merupakan perpanjangan tangan secara langsung Departemen Kesehatan dalam pemberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Revitalisasi Posyandu diharapkan dapat berdampak pada penurunan status gizi buruk dan peningkatan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat kelompok rentan, yakni bayi, anak balita, ibu hamil, dan menyusui. Upaya revitalisasi Posyandu juga diharapkan mampu memperluas jangkauan pelayanan kesehatan di Indonesia, serta merupakan perwujudan Pekan Kesehatan Nasional baik di Pedesaan maupun di Perkotaan.

Langkah awal pengelolaan gizi buruk adalah mengatasi kegawatan yang ditimbulkannya, dilanjutkan dengan "frekuen feeding" (pemberian makan yang sering, pemantauan akseptabilitas diet, penerimaan tubuh terhadap diet yang diberikan, pengelolaan infeksi dan pemberian stimulasi). Perlunya pemberian diet seimbang, cukup kalori dan protein serta pentingnya edukasi pemberian makan yang benar sesuai umur anak, pada daerah endemis gizi buruk perlu distribusi makanan yang memadai. Tetapi permasalahan yang munucl di kemudian hari adalah siapa pengelola terdepat yang bertugas memberikan makanan tambahan terebut.


Gizi buruk merupakan masalah yang kompleks dengan penyebab yang multifaktor dan multidimensi. Penanganannya memerlukan pendekatan menyeluruh, meliputi penyembuhan dan pemulihan anak yang sudah menjadi gizi buruk, pencegahan dan menjaga/mempertahankan anak yang sehat tetap sehat. Pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak baik dari dokter, tenaga medis, orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, agama dan pemerintah serta pihak swasta.

Pemantauan kesehatan dan status gizi pada WUS merupakan pendekatan yang potensial dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kondisi WUS yang sehat dan berstatus gizi baik akan menghasilkan bayi dengan kualitas yang baik, dan akan mempunyai risiko yang kecil terhadap timbulnya penyakit selama kehamilan dan melahirkan.