BAYI MATI DI LUMBUNG PADI
dr. Andi Cahyadi
Dokter Puskesmas Babana, Budong-Budong, Mamuju, Sulbar
“Orang bilang tanah kita tanah surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Hasil bumi dan pertanian melimpah, demikian juga tambang dan hutan. Indonesia adalah negara yang subur yang menjadikan masyarakat tidak akan pernah kekurangan makanan. Indonesia bagaikan lumbung padi yang tak pernah habis. Tetapi, apakah kini itu semua benar? Kenapa masih ada bayi dan anak-anak yang mati akibat kelaparan dan kurang gizi. Ini sangat ironis dan diibaratkan seperti bayi mati di lumbung padi.
Meledaknya kasus gizi buruk di berbagai seperti Yahukimo, NTT, NTB, Lampung dan propinsi lain menunjukkan bahwa masalah gangguan gizi di Indonesia masih rawan. Secara nasional, pada tahun 2003 terdapat 27.5% balita menderita gizi kurang, namun demikian terdapat 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas 30%, yang menurut WHO dikelompokkan sangat tinggi.
Masalah Gizi di Indonesia
Keadaan gizi dapat dipengaruhi oleh keadaan fisiologis, dan juga oleh keadaan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pada saat ini, selain dampak dari krisis ekonomi yang masih terasa, juga dampak dari bencana nasional mempengaruhi status kesehatan pada umumnya dan status gizi khususnya.
Kurang gizi dapat terjadi dari beberapa akibat, yaitu ketidakseimbangan asupan zat-zat gizi, faktor penyakit pencernaan, penyakit infeksi dan pola hidup atau diet makanan dan juga kurangnya kesadaran masyarakat terutama ibu akan pentingnya zat gizi bagi anak.
Meskipun prevalensi kurang energi protein, yang kemudian disebut masalah gizi makro, pada balita turun dari 37.5 % pada tahun 1989 menjadi 26.4 % pada tahun 1999, tetapi bila ditinjau dari jumlah penderita justru semakin naik. Keadaan ini juga diikuti dengan prevalensi masalah gizi lain seperti gangguan akibat kurang Yodium (Gondok), kurang vitamin A dan kurang Zat Besi (Fe) pada anak maupun ibu hamil yang disebabkan oleh berbagai hal.
Masalah gizi makro adalah gangguan gizi yang disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu sasaran dari program perbaikan gizi makro seharusnya berdasarkan siklus kehidupan yaitu dimulai dari wanita usia subur, dewasa, ibu hamil, bayi baru lahir, balita, dan anak sekolah.
Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) adalah salah satu hasil dari ibu hamil yang menderita kurang energi kronis dan akan mempunyai status gizi buruk. Prevalensi BBLR pada saat ini diperkirakan 7-14 % (yaitu sekitar 459.200-900.000 bayi). BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan (IQ).
Setiap anak yang berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10–13 poin. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih1,3 juta anak bergizi buruk, maka berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin.
Gizi Kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada balita di Indonesia. Berdasarkan hasil susenas data gizi kurang tahun 1999 adalah 26.4 %, sementara itu data gizi buruk tahun 1995 yaitu 11.4 %. Sedangkan untuk tahun 2000 prevalensi gizi kurang 24.9 % dan gizi buruk 7.1%. Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor.
Kurang Energi Kronis (KEK) dapat terjadi pada Wanita Usia Subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil). KEK adalah keadaan dimana ibu menderita keadaan kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu. Dari data Susenas pada tahun 1999 menunjukkan bahwa status gizi pada WUS yang menderita KEK (LILA < 23.5 cm) sebanyak 24.2 %. Hasil analisis IMT pada 27 ibukota propinsi menunjukkan KEK pada wanita dewasa (IMT< 18.5) sebesar 15.1 %.
Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kematian ibu mendadak pada masa perinatal atau risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada keadaan ini banyak ibu yang meninggal karena perdarahan, sehingga akan meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Data Susenas pada tahun 1999, ibu hamil yang mengalami risiko KEK adalah 27.6 %.
Sebab dan Akibat Masalah Gizi di Indonesia
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung, gizi buruk dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai dan anak mungkin menderita penyakit infeksi.
Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, artinya bayi dan balita tidak mendapat makanan yang bergizi, dalam hal ini makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.
Pola pengasuhan anak juga berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak.
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
Kemiskinan juga merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin kecil persentasinya. Kurang Gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas.
Masalah gizi juga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Pencapaian pembangunan manusia diukur dengan Indek Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indeks komposit yang terdiri dari umur harapan hidup, tingkat melek huruf dan pendapatan perkapita. Pada tahun 2003, IPM Indonesia sangat rendah, berada di peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dibanding negara tetangga.
Di samping dampak langsung terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80 % terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30%.
Ada tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu : 1) Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai, baik jumlah maupun mutu gizinya. 2) Pola pengasuhan anak kurang memadai, baik fisik, mental dan sosial. 3) Pelayanan kesehatan dan lingkungan, meliputi penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau kurang memadai. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Penanggulangan Masalah Gizi Buruk di Indonesia
Pemerintah dapat melaksanakan berbagai upaya untuk menurunkan penderita gizi kurang yaitu antara lain dengan cara menjamin setiap ibu menyusui ASI eksklusif, menjamin setiap ibu memperoleh pendampingan dan dukungan program gizi. Upaya perbaikan gizi tidak hanya melibatkan soal teknis kesehatan akan tetapi menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi dan kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan upaya terintegrasi lintas program maupun lintas sektor terkait baik di tingkat pusat maupun tingkat propinsi dan kabupaten.
Tujuan Khusus penanganan masalah gizi makro adalah: 1) Meningkatkan keadaan gizi keluarga dengan mewujudkan perilaku keluarga yang sadar gizi, 2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemerataan kegiatan pelayanan gizi ke seluruh wilayah perdesaan dan perkotaan, 3) Meningkatkan kualitas pelayanan gizi, baik di puskesmas maupun di posyandu, untuk menurunkan prevalensi masalah gizi kurang dan gizi lebih, 4) Meningkatkan konsumsi energi dan protein pada balita yang gizi buruk yang benar-benar membutuhkan.
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, akan ditempuh strategi pokok sebagai acuan penanggulangan masalah gizi makro, sebagai berikut :
1. Pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan dan gizi
Pemberdayaan keluarga adalah proses keluarga yang mempunyai masalah kesehatan dan gizi bekerjasama menanggulangi masalah yang mereka hadapi. Cara terbaik untuk membantu mereka adalah ikut berpartisipasi dalam memecahkan masalah mereka. Kegiatan operasional yang dilaksanakan adalah pemetaan keluarga mandiri sadar gizi oleh dasawisma dalam rangka survey mawas diri masalah gizi keluarga serta asuhan dan konseling gizi. Pemberdayaan masyarakat di bidang gizi
Masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penanggulangan masalah gizi makro untuk peningkatan kemandirian masyarakat dalam memerangi kelaparan dan kepedulian terhadap masalah gizi yang muncul.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah: 1) Pemberdayaan ekonomi mikro yang dilaksanakan lintas sektor terutama dalam rangka income generating, 2)Advokasi untuk memperoleh dukungan baik teknis maupun non teknis dari pemerintah daerah setempat memobilisasi sumber daya masyarakat yang dimiliki, 3) Fasilitasi, yaitu memberikan bantuan teknis dan peralatan dalam rangka memperlancar kegiatan penanggulangan gizi makro berbasis masyarakat, misalnya home economic set untuk PMT.
2. Pemberdayaan Petugas
Agar kualitas pelayanan gizi meningkat, maka diharapkan para petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar. Peningkatan peran petugas diberikan antara lain dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan baik melalui kegiatan workshop dan capacity building.
2. Subsidi langsung
Subsidi diberikan dalam bentuk paket dana untuk pembelian makanan tambahan dan penyuluhan kepada balita gizi buruk dan ibu hamil kurang energi kronis
Koordinasi dan Peran Lintas Sektor
Masalah gizi buruk merupakan masalah yang kompleks karena penyebabnya multifaktor dan multidimensi. Penanganannya memerlukan pendekatan yang menyeluruh, meliputi penyembuhan dan pemulihan anak-anak yang sudah menjadi gizi buruk, dan pencegahan dan peningkatan untuk menjaga/mempertahankan anak yang sehat tetap sehat.
Urusan kesehatan adalah urusan lingkungan, sikap, dan perilaku masyarakat. Adalah hasil penelitian Hendrik L. Blum yang sudah sering diangkat dan disuarakan para pakar kesehatan yang mengungkapkan bahwa dari empat faktor kunci yang memengaruhi derajat kesehatan, maka aspek pelayanan ternyata hanya memiliki kontribusi sebesar 20 persen. Sementara sebagian besarnya, 80 persen, dipengaruhi oleh tiga faktor lainnya. Persisnya, 45 persen ditentukan oleh lingkungan, 30 persen ditentukan oleh perilaku, dan sisanya, 5 persen ditentukan oleh faktor genetik atau keturunan.
Mengingat besaran dan sebaran gizi buruk yang ada di semua wilayah Indonesia dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan penanggulangan gizi buruk merupakan program nasional, sehingga perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan antara pusat dan daerah. Penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan komprehensif, dengan mengutamakan upaya pencegahan dan upaya peningkatan, yang didukung upaya pengobatan dan upaya pemulihan
Penanggulangan dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan akses untuk memperoleh informasi dan kesempatan untuk mengemukakan pendapat, serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat yang telah berdaya berperan sebagai pelaku/pelaksana, melakukan advokasi dan melakukan pemantauan untuk peningkatan pelayanan publik.
Berbagai masalah kesehatan masyarakat meningkat karena tidak berfungsinya Puskesmas secara optimal, terutama terbatasnya dukungan sumber daya. Salah satu akibatnya, meningkatnya gizi buruk pada Balita dapat dikatakan merupakan dampak dari berbagai masalah sosial ekonomi masyarakat. Penanggulangan masalah gizi buruk secara mendasar harus menyentuh akar permasalahan. Revitalisasi Puskesmas dan revitalisasi Posyandu harus merupakan upaya bersama, terutama perhatian oleh Pempa.
Revitalisasi Posyandu dipandang lebih efektif dalam menanggulangi masalah gizi buruk di Indonesia. Hal ini kembali pada alasan bahwa Posyandu merupakan perpanjangan tangan secara langsung Departemen Kesehatan dalam pemberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Revitalisasi Posyandu diharapkan dapat berdampak pada penurunan status gizi buruk dan peningkatan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat kelompok rentan, yakni bayi, anak balita, ibu hamil, dan menyusui. Upaya revitalisasi Posyandu juga diharapkan mampu memperluas jangkauan pelayanan kesehatan di Indonesia, serta merupakan perwujudan Pekan Kesehatan Nasional baik di Pedesaan maupun di Perkotaan.
Langkah awal pengelolaan gizi buruk adalah mengatasi kegawatan yang ditimbulkannya, dilanjutkan dengan "frekuen feeding" (pemberian makan yang sering, pemantauan akseptabilitas diet, penerimaan tubuh terhadap diet yang diberikan, pengelolaan infeksi dan pemberian stimulasi). Perlunya pemberian diet seimbang, cukup kalori dan protein serta pentingnya edukasi pemberian makan yang benar sesuai umur anak, pada daerah endemis gizi buruk perlu distribusi makanan yang memadai. Tetapi permasalahan yang munucl di kemudian hari adalah siapa pengelola terdepat yang bertugas memberikan makanan tambahan terebut.
Gizi buruk merupakan masalah yang kompleks dengan penyebab yang multifaktor dan multidimensi. Penanganannya memerlukan pendekatan menyeluruh, meliputi penyembuhan dan pemulihan anak yang sudah menjadi gizi buruk, pencegahan dan menjaga/mempertahankan anak yang sehat tetap sehat. Pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak baik dari dokter, tenaga medis, orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, agama dan pemerintah serta pihak swasta.
Pemantauan kesehatan dan status gizi pada WUS merupakan pendekatan yang potensial dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kondisi WUS yang sehat dan berstatus gizi baik akan menghasilkan bayi dengan kualitas yang baik, dan akan mempunyai risiko yang kecil terhadap timbulnya penyakit selama kehamilan dan melahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar